
Kamu tahu bulir-bulir air hujan ini pernah sangat menyakitkan buatku. Ketika ditumpahkan satu-satu dari langit dan menghantam pori-pori kulitku, kurasakan serupa sayatan-sayatan sembilu. Perih walau tak berdarah.
Kamu pun tahu aku pernah coba terbang dengan hanya satu sayap. Tertatih-tatih aku mencoba namun tak bisa aku kepakkan walau satu sayapku sudah aku bentangkan.
Tapi kamu mungkin tak tahu bahwa hadirmu disini, dicelah hatiku yang telah terluka mampu membuat satu sayapku yang telah patah tersambung kembali walau sudah tidak utuh, hingga bisa kubentangkan keduanya dan membawamu terbang bersamaku menembus pekatnya hujan.
Mata cokelatnya yang dibingkai bulu-bulu mata lentik nan halus terus berbinar tiada henti. Seolah bisa menggambarkan sebentuk perasaan tersanjung yang membuncah dari celah hatinya, ketika membaca deretan kalimat-kalimat mukadimah indah yang ditulis tangan oleh Fay diawal surat yang baru sekitar 10 menit lalu diterima olehnya dari tukang pos. Di dalam binar mata itu pula tergambar jelas seutas senyum hangat, sehangat cafe lattenya dalam cangkir putih yang masih mengebulkan asap putih tipis dan belum lagi bergeser dari tempatnya, dari atas sebuah meja yang terbuat dari sepotong kayu mahoni terletak persis di sebelah kanannya.
Dari surat, sejenak dia alihkan pandangannya pada segerombolan kecil burung yang terbang memperkosa senja, dengan gumpalan awan tipis berselaput rona orange kemerahan. Di batas kaki langit, pucuk-pucuk daun menari ditiup angin sore, lentur bak seorang balerina dengan alunan Tchaikovsky dalam pertunjukan Swan Lake yang termasyhur. Dia menghela nafasnya pelan, lalu meraih cangkir putihnya dengan hati-hati, membaui cafe lattenya dengan mata terpejam seolah itu adalah wangi terdasyat yang pernah dia temui seumur hidupnya, kemudian meneguknya perlahan dengan penuh cinta.
Kamu tahu? Perasaan sayang ini tak muncul tiba-tiba, tapi serupa benih yang menancapkan akar tunggalnya di dasar hatiku lalu mengakar kuat tanpa bisa aku cegah. Begitu juga dengan rasa cinta ini, rasa cinta ini aku bangun dengan pondasi yang kuat sejak kali pertama aku menerima email perkenalanmu, saat aku menemukan kamu di bawah pohon beringin di depan Benteng Vredeburg bersama sebentuk senyum di wajah kuyuhmu karena lelah menghabiskan delapan (8) jam perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta, saat dipenghujung malam ketika kita duduk dibangku kayu berhadap-hadapan saat kamu temani aku menghabiskan semangkuk bakso tahu di sekitar Malioboro dan kamu katakan tak pernah ada seorangpun yang menyayangi kamu seperti aku. Saat kamu genggam tanganku ketika kita duduk di kursi becak yang tengah dikayuh bapak tua untuk menghantarkan kita menghabiskan malam minggu di alun-alun selatan Jogja, saat kamu tertatih-tatih menjejalkan langkamu setapak demi setapak sembari berbalutkan secarik kain hitam penutup mata mencari celah dua pohon beringin besar di depan Keraton. Saat aku lingkarkan sebuah cincin perak di jari manismu ketika kita menjelajahi kota lama, saat kamu rengkuh aku dalam hangat pelukmu seolah akan berpisah lama ketika gerbong kereta berkarat itu akan membawamu kembali ke Surabaya.
Dia tempelkan telapak tangan kirinya ke dadanya seolah ingin menjinakkan perasaannya yang mengharu biru, ada semacam getaran-getaran halus dari dalam jantungnya yang berkecamuk dan memaksanya kembali ke setiap peristiwa yang baru dia baca dalam sepucuk surat yang ditulis dengan tinta perak diatas kertas berwarna hitam pekat.
.......
Rintik gerimis mengundang kekasih dimalam ini
Kita bernyanyi dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku, saat ini oh sayangku
Jika kau di sini aku tenang
..........
Bait demi bait lagu Denting-nya Melly Goeslow yang mengalun pelan dari earphone di kupingnya semakin mempertajam aroma kesedihan yang tiba-tiba menyeruak sempurna di sudut hatinya. Konsentrasinya buyar seketika, tidak lagi pada surat dalam genggamannya melainkan pada sebaris kalimat yang pernah dia kirim melalui sms pada cowok yang pernah dicintainya selama nyaris 7 bulan.
“Aku merindukan kesendirian, kita selesai sampai disini.”
Sebaris kalimat yang dia kirim tiba-tiba tanpa tendeng aling-aling, singkat namun dia yakini pasti akan menjadi pukulan telak yang menyakitkan untuk fay.
Lembar surat kedua dia tumpukkan di atas lembar pertama, dan kembali menjamahi huruf-huruf yang terangkai menjadi kalimat dengan pandangan kabur karena airmatanya nyaris tumpah.
Kamu tahu? Aku bahkan rela mengkompromikan perasaanku dengan sebuah kenyataan bahwa raga kita terpisah oleh jarak puhan ribu mill Jakarta-Surabaya lalu kemudian menjadi jarak jutaan mill antara Jakarta dan Pontianak. Tapi aku mencoba mengerti bahwa cintalah yang sesungguhnya membuat kita hanya berjarak selapis kulit ari.
Kamu tahu? Dua hari lagi kita nyaris 7 bulan, namun ketika aku terjaga dipagi ini, aku tersadar tak mungkin melangkah lagi bersama kamu karena kamu telah memilih menyelesaikan episode terakhir kita dan memilih untuk terus berjalan sendiri tanpa aku.
Terima kasih untuk pernah bersedia hadir dan menjadi bagian penting dalam hidupku
Fay.
Jebol sudah pertahanannya, tak kuasa pula dia membuat saripatih matanya hanya berdiam di garis tepi mata cokelat berbingkai bulu mata lentiknya, melainkan meleleh membuat jelaga hitam hingga dagunya yang lancip.