Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Februari 2011

Episode Terakhir


Kamu tahu bulir-bulir air hujan ini pernah sangat menyakitkan buatku. Ketika ditumpahkan satu-satu dari langit dan menghantam pori-pori kulitku, kurasakan serupa sayatan-sayatan sembilu. Perih walau tak berdarah.
Kamu pun tahu aku pernah coba terbang dengan hanya satu sayap. Tertatih-tatih aku mencoba namun tak bisa aku kepakkan walau satu sayapku sudah aku bentangkan.
Tapi kamu mungkin tak tahu bahwa hadirmu disini, dicelah hatiku yang telah terluka mampu membuat satu sayapku yang telah patah tersambung kembali walau sudah tidak utuh, hingga bisa kubentangkan keduanya dan membawamu terbang bersamaku menembus pekatnya hujan.


Mata cokelatnya yang dibingkai bulu-bulu mata lentik nan halus terus berbinar tiada henti. Seolah bisa menggambarkan sebentuk perasaan tersanjung yang membuncah dari celah hatinya, ketika membaca deretan kalimat-kalimat mukadimah indah yang ditulis tangan oleh Fay diawal surat yang baru sekitar 10 menit lalu diterima olehnya dari tukang pos. Di dalam binar mata itu pula tergambar jelas seutas senyum hangat, sehangat cafe lattenya dalam cangkir putih yang masih mengebulkan asap putih tipis dan belum lagi bergeser dari tempatnya, dari atas sebuah meja yang terbuat dari sepotong kayu mahoni terletak persis di sebelah kanannya.

Dari surat, sejenak dia alihkan pandangannya pada segerombolan kecil burung yang terbang memperkosa senja, dengan gumpalan awan tipis berselaput rona orange kemerahan. Di batas kaki langit, pucuk-pucuk daun menari ditiup angin sore, lentur bak seorang balerina dengan alunan Tchaikovsky dalam pertunjukan Swan Lake yang termasyhur. Dia menghela nafasnya pelan, lalu meraih cangkir putihnya dengan hati-hati, membaui cafe lattenya dengan mata terpejam seolah itu adalah wangi terdasyat yang pernah dia temui seumur hidupnya, kemudian meneguknya perlahan dengan penuh cinta.

Kamu tahu? Perasaan sayang ini tak muncul tiba-tiba, tapi serupa benih yang menancapkan akar tunggalnya di dasar hatiku lalu mengakar kuat tanpa bisa aku cegah. Begitu juga dengan rasa cinta ini, rasa cinta ini aku bangun dengan pondasi yang kuat sejak kali pertama aku menerima email perkenalanmu, saat aku menemukan kamu di bawah pohon beringin di depan Benteng Vredeburg bersama sebentuk senyum di wajah kuyuhmu karena lelah menghabiskan delapan (8) jam perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta, saat dipenghujung malam ketika kita duduk dibangku kayu berhadap-hadapan saat kamu temani aku menghabiskan semangkuk bakso tahu di sekitar Malioboro dan kamu katakan tak pernah ada seorangpun yang menyayangi kamu seperti aku. Saat kamu genggam tanganku ketika kita duduk di kursi becak yang tengah dikayuh bapak tua untuk menghantarkan kita menghabiskan malam minggu di alun-alun selatan Jogja, saat kamu tertatih-tatih menjejalkan langkamu setapak demi setapak sembari berbalutkan secarik kain hitam penutup mata mencari celah dua pohon beringin besar di depan Keraton. Saat aku lingkarkan sebuah cincin perak di jari manismu ketika kita menjelajahi kota lama, saat kamu rengkuh aku dalam hangat pelukmu seolah akan berpisah lama ketika gerbong kereta berkarat itu akan membawamu kembali ke Surabaya.

Dia tempelkan telapak tangan kirinya ke dadanya seolah ingin menjinakkan perasaannya yang mengharu biru, ada semacam getaran-getaran halus dari dalam jantungnya yang berkecamuk dan memaksanya kembali ke setiap peristiwa yang baru dia baca dalam sepucuk surat yang ditulis dengan tinta perak diatas kertas berwarna hitam pekat.
.......
Rintik gerimis mengundang kekasih dimalam ini
Kita bernyanyi dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku, saat ini oh sayangku
Jika kau di sini aku tenang
..........

Bait demi bait lagu Denting-nya Melly Goeslow yang mengalun pelan dari earphone di kupingnya semakin mempertajam aroma kesedihan yang tiba-tiba menyeruak sempurna di sudut hatinya. Konsentrasinya buyar seketika, tidak lagi pada surat dalam genggamannya melainkan pada sebaris kalimat yang pernah dia kirim melalui sms pada cowok yang pernah dicintainya selama nyaris 7 bulan.
“Aku merindukan kesendirian, kita selesai sampai disini.”
Sebaris kalimat yang dia kirim tiba-tiba tanpa tendeng aling-aling, singkat namun dia yakini pasti akan menjadi pukulan telak yang menyakitkan untuk fay.
Lembar surat kedua dia tumpukkan di atas lembar pertama, dan kembali menjamahi huruf-huruf yang terangkai menjadi kalimat dengan pandangan kabur karena airmatanya nyaris tumpah.

Kamu tahu? Aku bahkan rela mengkompromikan perasaanku dengan sebuah kenyataan bahwa raga kita terpisah oleh jarak puhan ribu mill Jakarta-Surabaya lalu kemudian menjadi jarak jutaan mill antara Jakarta dan Pontianak. Tapi aku mencoba mengerti bahwa cintalah yang sesungguhnya membuat kita hanya berjarak selapis kulit ari.
Kamu tahu? Dua hari lagi kita nyaris 7 bulan, namun ketika aku terjaga dipagi ini, aku tersadar tak mungkin melangkah lagi bersama kamu karena kamu telah memilih menyelesaikan episode terakhir kita dan memilih untuk terus berjalan sendiri tanpa aku.
Terima kasih untuk pernah bersedia hadir dan menjadi bagian penting dalam hidupku

Fay.


Jebol sudah pertahanannya, tak kuasa pula dia membuat saripatih matanya hanya berdiam di garis tepi mata cokelat berbingkai bulu mata lentiknya, melainkan meleleh membuat jelaga hitam hingga dagunya yang lancip.

Minggu, 28 Juni 2009

Gamang

-cerita lanjutan "senja di pajekko"-

Di bawah sana, beberapa meter dari tempatnya duduk, dia bisa leluasa memandangi mobil-mobil beraneka rupa yang tengah lalu lalang. Dari mobil keluaran perusahaan kelas wahid di eropa yang bermesin diesel dengan harga selangit, macam Mercedes Benz, BMW, Audi, Alfa Romeo, Fiat, VW, Citroen, Opel, Peugeot, Renault, sampai Volvo, hingga metromini dan kopaja usang nan dekil jurusan Lebak Bulus-Pondok Indah-Blok M yang mengebulkan Carbon Monoksida berwarna hitam pekat. Laju motor-motor bebek, dari keluaran terbaru hingga keluaran jaman jebot yang saling silih menyalip menjadi pelengkap gambaran betapa menjengkelkannya suasana senja di Megapolitan ini.

Masih di sudut yang sama, perempatan kawasan elite Pondok Indah, kendaran yang tengah melaju tadi masih berkerumunan di ujung perempatan, menunggu hingga trafict ligth berganti warna dari merah ke hijau. Deru mesin dan asap kenalpot yang menjadi penyumbang hingga 60% ramuan polutan udara Jakarta, masih menghiasi senja yang terus bergulir.

Dia menarik ujung ekor matanya dari arah jam 10 ke arah angka 12 pas. Manusia-manusia budak rupiah tengah hilir mudik dengan langkah besar dan kecil tak constant. Para prianya sebagian masih berkemeja, berdasi dan bercelana bahan yang entah keluaran brand internasional atau bahkan produk Tanah Abang, sedangkan yang wanita dengan paduan fashion yang kekinian lengkap dengan gedget yang tengah digandrungi sejuta umat saat ini. Semua campur aduk senja ini. Arti ekspresi mereka susah ditebak. Ada yang memperlihatkan raut dingin dan kaku, seolah ada beban seberat gunung diubun-ubunnya, namun belum tentu arti ekspresi itu seperti yang terlihat. Ada pula yang tersenyum lebar sekali, seolah ingin mengatakan dia sedang bahagia, tapi siapa yang tahu jika mereka sebenarnya tengah terlilit utang, tak ada yang tahu. Di arah angka jam 3, seorang pria usia 29 tahun (setidaknya) tengah menyapa dan menawarkan pada orang-orang yang tengah lalu lalang untuk sekedar mampir ke kedai kopinya, menyeruput kopi arabika, capuchino, kopi luwak beserta cemilan-cemilan beraneka rasa sambil menikmati senja yang perlahan beranjak ke malam.

Tak terlalu lama Salu menikmati senja di sudut itu, dia beranjak ketika langit diluar sana semakin memudarkan warna lembayungnya. Tadi, beberapa menit lalu, dia duduk dikursi kayu itu untuk sekedar merenggangkan otot kakinya yang mulai terasa kaku, sembari berharap dengan duduk disana, melihat lukisan senja melalui kaca bening, hatinya akan sedikit lega, beban yang menghimpit dadanya bisa sedikit berkurang agar ada secuil rongga untuk dia bernafas. Ini bulan ke enam dia merasa terpuruk. terpuruk dalam sekali. Hingga kegamangan kerap datang menghujamnya dari segala penjuru.

Tadi, ketika dia duduk disana, angannya terdampar pada sosok ibunya. Ingin sekali saat itu dia memencet tuts-tuts handphonenya. bersua dan bercerita dengan ibunya di udara, menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dasyat di dasar hatinya. tapi, itu hanya sekedar niatan. Dia adalah produk manusia Introvert, dia tidak ingin membuat ibunya luka lara karena memikirkan keadaan dirinya. ingin ditelan bulat-bulat segala masalah yang menghujamnya sendirian. Lagipula sejak dulu, ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya, Salu bukanlah orang yang terbiasa menceritakan segala hal pada keluarganya, justru dia merasa bebas bercerita dengan teman-teman terdekatnya. "Masa kecilnya"-lah yang kemudian membentuk dia menjadi sosok seperti sekarang, terlihat kuat, tegar, dewasa namun kenyataanya dia tak lebih dari pohon rapuh yang siap tumbang ketika ada angin menerpa.

Ada apa dengan salu? bukakan masa kecilnya begitu bahagia ketika di pajekko? lalu kenapa sekarang dia terdampar di Jakarta? TO BE CONTINUE......

Senin, 22 Juni 2009

Senja di Pajekko


Sore ini langit sudah tidak sepenuhnya biru. Birunya juga tidak lagi terang melainkan terus memudar mendekati abu-abu. Sore itu pun langit bertahktahkan warna kuning keemasan yang melebur dengan warna orange kemudian membiaskan guratan lembayung, dan berpendar di pucuk-pucuk hijaunya dedaunan padi yang membentang luas membentuk batas cakrawala nan elok. Diatas sana, beberapa depa dari permukaan tanah, berkibar-kibar layang-layang dari kertas minyak beraneka warna dan rupa dengan sebagain besarnya memiliki buntut-buntut panjang meliuk-liuk menari bersama angin yang semilir.

Bocah-bocah dengan badan setengah telanjang, hanya terbungkus celana pendek usang, berlari-lari riang nan riuh di pematang sawah yang lebarnya hanya cukup untuk seorang berjalan. Kerap mereka jatuh jumpalitan menerobos pohon-pohon padi yang masih muda, berbuah teriakan keras dari bapak mereka yang tengah duduk ngaso di dangau sambil selonjoran dan menghisap sebatang rokok kretek.

Lukisan hidup setiap senja dari Sang Maha Agung yang entah telah berlangsung sekian lama kian dipercantik bola besar berpijar sebesar tampa, berwarna gradasi kuning ke orange terang di batas cakrawala. Belum lagi suara riuh kepak sayap burung yang akan kembali ke sarangnya setelah seharian penuh ikut mengais rezeki dari padi-padi yang mulai menguning dibagian lain persawahan ini. Lalu suara cerewet bebek-bebek yang digiring oleh si empunya kembali ke kandang yang terletak dibelakang rumah panggung.

Salu, bocah laki-laki berusia tak lebih dari lima tahun, berperawakan kurus, berkulit cokelat gelap akibat terlalu sering terpanggang sinar matahari, rambut lebat nan kaku berwarna kemerahan, bukan karena dihigligth di salon melainkan efek dari keseringan berlarian di pematang sawah kala matahari tengah sengit memanggang bumi, berlari-lari kecil dibelakang pria paruh baya yang tengah memikul cangkul di pundaknya. Senyum khas anak-anak tergambar jelas disudut bibirnya, tanpa guratan keletihan walau telah seharian berkubang bersama lumpur sawah dan terpanggang sinar matahari karena bermain layang-layang dipematang sawah.
Salu terus menguntit dibelakang pria tua yang tak lain ada kakeknya, berpegangan pada pagar bambu ketika melewati jalan setapak yang becek akibat terguyur air hujan semalam. Kemudian mendahului kakeknya ketika belok kanan di ujung jalan setapak. Kembali berlari kecil menyeberangi jalan berbatu menuju rumah panggung, rumah keluarga besarnya tentu saja. Dia tak langsung menapaki anak-anak tangga, menuju lantai atas melainkan berbelok ke sumur tak jauh dari parit di depan rumahnya yang mengalirkan air bening dari DAM beberapa kilometer dari rumahnya berdiri. Bocah itu telah cekatan menimba air disumur, kemudian mengguyurkan air bening itu ke sekujur tubuhnya yang bersimbah lumpur.

Adzan magrib berkumandang dari Toa karatan di Mesjid kecil yang hanya satu-satunya di desa itu. Merdu suara Muadzin menyusup kerelung-relung hati semua warga di desa kecil itu. Memanggil dan mengajak setiap mereka untuk datang bertafakur dihadapan sang Khalik, mensyukuri segala nikmat hidup yang telah dicurahkan dari langit hari ini.

Salu berlari-lari kecil menuju mesjid. Tidak menggunakan stelan baju koko, melainkan hanya menggunakan kain sarung dengan baju kaos cokelat pudar ditambah kopiah hitam usang yang bertengger dikepalanya. Kaki-kaki mungilnya yang beralas sendal jepit kian dia percepat, mendahului perempuan-perempuan tua dan laki-laki tua, anak-anak kecil seusianya, dia ingin lebih dulu tiba di mesjid, dan berdiri di saf terdepan. Ketika dia sampai sudah banyak orang di dalam mesjid, melakukan shalat sunah dua raka'at setelah Adzan dan sebelum iqamat.

Salu berdiri diantara kakeknya dan amir sahabatnya. shalat magrib kali itu di imani oleh Pak Guru Besar, dipanggil demikian karena beliau adalah kepala sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, satu-satunya Sekolah Dasar di kampung itu. Pak Guru Besar hampir setiap hari menjadi imam diwaktu-waktu shalat lima waktu di kampung itu, bukan hanya lantaran beliau Kepala Sekolah yang dihormati, melainkan bacaan Al Qurannya yang fasih, dan ketika beliau melafalkan ayat demi ayat, suaranya penuh harmoni. Terkadang tinggi melengking, kemudian lembut mendayu-dayu dan begitu cepat meresap dan menggedor-gedor relung jiwa yang mendengarnya.

Selesai menunaikan shalat magrib berjamaah, Salu ikut berebut bersama teman-teman seusianya dipojok mesjid. Memperebutkan Al- quran yang memang tak seberapa jumlahnya, sedangkan anak-anak yang ikut mengaji setelah shalat magrib bisa puluhan orang jumlahnya. Hingga tak jarang mereka harus bergantian membaca Alquran.
Hari itu, Amir membuka tadarus dengan alunan suaranya yang merdu. diusia yang terbilang muda, 9 tahun, namanya sudah kondang diseantero kabupaten Bone sebagai Saritilawah cilik berprestasi. Salu mungkin belum begitu lancar membaca Alquran, tapi dia selalu antusias ikut tadarus setelah shalat magrib berjamaah. terkadang dia hanya ikut menyimak ayat-ayat yang dibacakan temannya, atau membaca beberapa ayat seperti saat ini. Ayat-ayat Alquran terus mengalun mendayu-dayu harmonis, merayap bersama senja yang terus bergulir dan berganti malam. Diatas sana sudah pekat, kilau gugusan bintang-bintang berusia ratusan tahun cahaya berpendar-pendar ke bumi, semilir angin juga ikut membuai, memberikan ketenangan senja di Pajekko, perkampungan kecil di Kabupaten Bone.

Kamis, 11 Juni 2009

3logy of curhat: To Be...


Gue: "Dieeee......"teriak gue dari luar dengan suara cempreng yang seketika itu terbawa angin dan membahana dilubang angin kamar De, teman se-Apartment gue.

De: "Iye, bentar! lagi pipis gue". Suaranya terdengar sayup, teredam oleh suara derasnya air yang mengucur dari kran air dikamar mandinya.

Beberapa menit kemudian.

De: Iz, kemana aja? seminggu ini tuh idung terong gak kelihatan." sambutnya dengan pertanyaan basa-basi, tapi tetap dengan binar mata bahagia, seolah sudah teramat lama tak bersua, padahal baru seminggu lalu kami tak bercengerama seperti biasanya.

Dan gue hanya cengegesan gak jelas, sambil nyelonong masuk ke dalam bilik berhawa sejuk yang berasal dari AC diatas jendela kamarnya.

gue: "Gue pikir loe balik ke Bandung."
De: "Nggak, gue baru dari Surabaya. Baru banget".
celotehnya sembari membenahi barang-barang bawaannya yang masih berserakan di atas permadani hijau lumutnya.
De: "Gue dikasih Blackberry." pekiknya semangat sembari memamerkan BB nya yang dibungkus skin berwarna merah tua, favoritenya.
"Cincin berlian juga." katanya memperlihatkan cincin silver bertakhtahkan berlian bening.
Gue: "Waduh!!!" Gue cuma bisa melongo dengan ekspresi alakadarnya. "Loe ke Surabaya buat ketemu dia?"
De: "Nggak, gue ada tugas kantor. cuma sekalian ketemu, itu juga cuma beberapa jam. Dia cuma nganterin gue ke airport dari hotel". De, wanita karier. posisinya sebagai Senior Marchendiser di sebuah broker fashion di kawasan Simatupang, membuatnya punya banyak kesempatan untuk melancong ke berbagai daerah untuk keperluan pekerjaan.

De: "Dia ngajak gue merit Iz."
Gue: "Lah?"
De: "Tapi gue binggung. kok yo jalan hidup gue gini banget yah."
raut wajahnya sedikit berubah gamang. "Loe kan tahu gue bukan tipe penggangu laki orang. Gue berusaha untuk idup lurus-lurus ajah. "Dulu, dia emang pernah bilang mau merit sama gue, jauh sebelum dia merit dan punya anak. Sekitar 4 tahun lalu."
Gue: "Terus kenapa ditolak?"
De: "Halah, secara ketemuannya di dunia Maya ajah gitu. Kalau laki-laki mengumbar kemesraan cuma di dunia maya, buat gue cuma ada dua penilaian. Kalau bukan Penjahat Kelamin yah laki-laki bajingan."
Gue: "Dia tipe loe?"

De: "Buat gue laki yang bisa jadi suami gue yah cuma ada 5. first: Smart, second:Bahasa inggrisnya gape, thirth: Mapan a.k.a punya pekerjaan dan penghasilan tetap, fourth: lebih tua dari gue secara usia dan kedewasaan, fiveth: BUKAN LAKI ORANG."
Gue: "Dan dia sudah memenuhi semua kriteria itu?"
De: "Kecuali predikat LAKI ORANG".
Gue: "Jangan-jangan modusnya cuma karena penasaraan aja sama loe kali."
kata gue berpendapat.
De: "Tapi dia emang gak pernah ngajak gue pacaran. Buat dia di umur sekian udah bukan saatnya pacaran ala ABG, dia mau kawinin gue. Gue binggung harus ngomong apa sama keluarga gue. Menurut loe gue harus ngapain?"
Gue: "De, loe harus cerita apa adanya sama bonyok loe, bagaimanapun mereka orang yang paling berhak tahu. forgeted-lah sama orang lain. Walaupun kenyataannya kita hidup lingkungan sosial. Emang banyak orang yang harus dijaga perasaannya, terutama istri, anak dan kedua keluarga laki itu. dan yang harus loe ingat juga apa loe siap dengan status yang "kedua" itu".
Gue: "Kemaren dia tanya kapan gue bisa ketemu sama Bonyok gue. menurut loe mendingan gue ngomong sendiri atau ngomong berdua dia?"

Gue: "Kalau dia tanya gitu, berarti dia memang bertanggung jawab. Karena ini bukan prihal remeh temeh, ini masalah kehidupan kalian kedepan. dan ini juga kesulitan yang harus dipecahkan berdua. menikah bukan perkara ijab kabul, lantas kelar ranjang. apalagi untuk kondisi seperti ini. i'm sure, you and him explain the truth to your parents".
De: "Tapi, jadi bini kedua itu loh yang buat gue gak konsen sama sekali".
Gue: "Inget kata-kata yang gue bilang dong. Kita ada di dunia ini bukan untuk mencintai seseorang yang sempurna, tapi untuk mencintai seseorang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna".

Selasa, 31 Maret 2009

My Beautiful Lady, Forever

Siang ini matahari menyengat ubun-ubun diluar sana, anak usia belasan tahun dengan costum putih biru lengkap dengan cucuran keringat berwarna putih susu mengalir deras dari pori-pori kepala yang siang itu sangat klimis berkilat-kilatan, tapi lebih nyata "lepek" karena belah tengah itu kelebihan Gatsby.

Disebelahnya berdiri pria jangkung dengan kaos robek disana sini lengkap dengan sarung kotak-kotak biru cenderung kumel, dengan puntung rokok Djarum Black yang tinggal 1/4 bagian nyaris habis karena dihisap dengan penuh kesumat, hingga asap yang dihembuskannya terlihat buyar penuh amarah.

Mata perjaka ting-ting itu menatap jauh ke depan dengan ekspresi sedih, takut dan bengong. Tatapan lelaki jangkung kurus dengan wajah coklet berkilat-kilat karena minyaknya yang berlebih dengan ekspresi yang sukar digambarkan dengan kata-kata.

Lama keduanya diam dalam bisu, sementara waktu terus bergerak menuju angka 13.15 WITA, jam masuk sekolah bocah beranjak ABG itu. tapi tak ada keberanian setetes air pun yang berani membuatnya bergeser dan melangkah dari ambang pintu tempat mereka berdua berdiri.

10 menit sebelumnya

bocah ABG berseragam putih biru : Tolong mintain uang jajan sama mamaku dong
temen bocah : mamamu dimana?
bocah ABG bersergam putih biru : dirumah.

5 menit berlalu.

temen bocah : aku gak berani, bapakmu tadi marahin aku. kamu disuruh pulang.
bocah ABG berseragam putih biru : tapi aku mau sekolah
teman bocah : Bapakmu suruh kamu pulang.

Matahari memang menyengat sekali siang ini, kota di sela khatulistiwa ini memang selalu bermandikan cahaya matahari dari pijar bola besar yang nun jauh dibalik birunya langit dengan awan putih menggantung. Perempuan itu, separuh baya usianya kini. dengan sarung menutup kepalanya persisi perempuan-perempuan bugis kebayakan yang sedang menyemai padi disawah, tapi perempuan ini tidak sedang menyemai padi melainkan memetik pucuk-pucuk daun singkong untuk dijual dipasar sekedar membeli lauk untuk malam ini. Siraman cahaya matahari yang panas membakar kulit ari, tak dihiraukannya, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung yang keluar dari pori kulit dahinya hanya diseka dengan punggung tangan. Sudah nyaris penuh bakul anyaman bambu dipunggungnya, hingga perempuan itu menepi dibawah rindangnya pohon rambutan, disana ada pohon pohon singkong yang tumbuh liar.

Sudah hampir jam masuk sekolah, bocah ABG berseragam putih biru dengan takut-takut memandang wajah bapaknya yang sudah mereda raut marah dari wajahnya.
Bapak: pergi sudah sekolah, lain kali kalau mau minta uang jajan, minta sendiri.
katanya sambil menyodorkan selembar seribu usang ke arah anaknya. bocah ABG menggeleng pelan, tak disambutnya kertas biru lusuh dengan tiga angka nol yang tercetak disana. bathinnya berkecamuk. segera berbalik badan dengan langkah-langkah besar menuju sekolah yang jaraknya hanya beberapa depa dari rumahnya. cukuplah lima menit untuk sampai tepat waktu ke sekolah dengan cukup berlari-lari. tangisnya ingin pecah, sedihnya menyelimuti hati, ingin berlinang air matanya, menyesal dia bertindak bodoh tadi, siang ini kembali disaksikannya perempuan itu berjuang untuknya, untuk keluarganya. berlari dia, terus sampai napasnya sesak.

Bocah ABG berseragam putih biru dengan rambut lepek kebanyakan gatsby adalah gue 14 tahun lalu. pria tinggi kurus itu adalah Bapakku, dan perempuan penyemai daun singkong itu Ibuku, dia Pahlawanku, she is my wonderwoman. Takkan habis cintaku untukmu, rinduku telah membuncah sekarang, ribuan mill jarak kita kini, but you still my women. i love u mom. kali ini air mata ini benar-benar berderai.