Selasa, 23 September 2008

Laskar Pelangi, most beautiful film i ever seen.

Gue lagi duduk disalah satu kursi di Planet Hollywood, diantara para pewarta berita yang masih hilir mudik dari meja satu ke meja satu (neh orang apa setrikaan ya?). Siang ini diantara lapar dan dahaga, mereka tetep semangat seperti biasa. Menyodorkan tape recorder, microfon untuk mewawancarai para artis, produser, sutradara dan penulis atau sekedar jepret sana jepret sini seolah enggan melepaskan semua moment berharga yang terjadi dalam ruangan kecil yang penuh sesak oleh manusia-manusia pemburu berita.

Berhubung gue bukanlah wartawan dan saat ini ikut hadir ditempat gaweanya para wartawan-wartawan ini dengan alasan:
1. Ingin menjadi salah satu orang pertama yang nonton film paling gue tunggu tahun ini.
2. Nolongin temen gue yang wartawan untuk mendapatkan amplop berisi seratus hingga dua ratus ribu rupiah sebagai imblan dari Production House yang menggelar hajatan premier film ini kepada para wartawan yang berkenan hadir dan meliput semua kejadiaan “Maha Dahsyat” yang terjadi di premier film ini. Yang kemudian uang itu dipakai buat bayar kos bulan ini, hehehhehhe…….


Maka untuk menyembunyikan identitas asli gue (penting gak sih?) jadilah gue hanya berasyik mahsyuk dengan tombol-tombol laptop gue, merangkai setiap kata dan kalimat yang mengaduk-aduk isi kepala gue sejak premier film LASKAR PELANGI berlangsung dua jam yang lalu.

Gue sudah sangat “Jatuh Cinta” sejak membaca novel karya tangan dingin Andrea Hirata setahun lalu dan membuat gue memborong dua novel dia selanjutnya (Sang Pemimpi dan Edensor) dan sekarang sedang harap-harap cemas sembari nahan-nahan kentut pengen baca seri terakhir Tetralogi Laskar Pelangi (Maryamah Karpov). Tadinya gue anggap semua BUKU SASTRA itu MEMBOSANKAN lebih membosankan dari pada nongkrong tiap pagi di toilet yang bau pesingnya amit-amit jabang bayi. Tapi setelah ikut-ikutan temen kantor gue beli novel nya Hirata, hanya karena gue suka warna cover merah lembayung yang menurut gue sangat eye catching banget dan memaksakan diri untuk membacanya barulah gue sadari cintaku bertepuk sebelah tangan (loh? Apa-apaan neh maksudnya?) inilah MASTER PIECE yang sangat-sangat Full Inspiring, Full menggugah hati hingga menusuk-nusuk sanu bari yang berbuah mewek jijay waktu gue membacanya.

Dan ketika gue denger kabar selintingan kalau novel ini akan di filmkan, gue sempet merasa tidak rela. Takutnya feel “Dahsyat” yang sudah dibangun kuat oleh Hirata di Novel ini akan dijungkir balikkan hingga porak poranda oleh orang-orang yang mengaku sineas top marko top di Negeri ini, tapi membuat film ala SINETRON dari buku yang sangat-sangat popular. Tapi ketika tahu yang membuat filmya kolaborasi manusia “SINTING” Mira Lesmana – Riri Reza, gue mulai berfikir “Oh Oke!!!!”

Penantian sekian lama terobati sudah. Mendengar pemutaran film dimajukan dari jadwal semula yang katanya setelah lebaran 2008 menjadi seminggu sebelum lebaran, membuat gue teriak-teriak mirip bebek yang mau dipanggang idup-idup. Gue harus jadi salah satu orang pertama yang nonton film ini. Temen gue yang wartawan gue ancam akan gue mutilasi kalau gue gak dapet undangan premier film ini, maka jadilah hari ini gue berada diantara kerumunan orang-orang ini, kerumunan wartawan yang loncat sana loncat sini mirip kutu loncat yang kena ambeyen menghampiri orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film ini yang kebetulan di bagi dalam beberapa kelompok.

Ibarat pepatah yang bilang “sambil nyelam minum air” (keselek dong? Dodol apa gak ada kerjaan neh orang yang buat pepatah) atau “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” (lah napa jadi ngomongin pepatah?) back again…..jadi gue pun merasakan hal yang sama, gue girang banget waktu bisa ketemu dan salaman sama Andrea Hirata (the dreems come true), dan gue pun bilang:

Gue: “Mas Andrea, bukunya sangat Inspiring”.
Andera: “…….” Cuma senyum doang.
Gue: “Saya ama temen saya yang sekarang lagi kuliah di UK ampe punya keinginan untuk jadi back packer keliling Eropa dan dateng ke Edensor.” (gue gak habis pikir kenapa ngebahas Edensor? Padahal ini lagi premier film yang settingnya di Belitong. Harap maklum syndrome terkagum-kagum gue lagi kumat dan menguasai hampir seluruh syaraf-syaraf ditubuh gue).
Andrea: “Saya mau kesana lagi, mau ikut?”
Gue: “………”

Gak bisa ngomong lagi, dia pasti gak serius ngajak gue, heheheehhehehe……..
Gile prolog gue panjang pisan euy……maklumlah biang gossip.

Eniwey by the way busway yang bikin Jakarta makin macet.
Kalau loe semua sudah baca novelnya Andrea Hirata LASKAR PELANGI loe pasti setuju kalau novel ini DAHSYAT LUAR BIASA. Hirata berhasil membuat sepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Kucai, Syahdan, Harun, Trapani, Borek, A Kiong) menjadi semakin hidup. Mereka bersepuluh, yang setiap hari bersetubuh dengan alam Belitong dengan segala permasalahan mulai dari kemiskinan yang membelit, semangat, keinginan hingga cita-cita benar-benar berhasil memberikan spirit luar biasa untuk gue secara pribadi untuk terus bermimpi (temen gue juga pernah pernah bilang ke gue: “Teruslah bermimpi, karena mimpi itu yang akan membuat loe terus hidup”). Tidak hanya semangat para Laskar Pelangi. Keinginan, kegigihan dan ketulusan Ibu Muslimah dan Pak Harfan yang menyala-nyala harusnya bisa menggugah semua orang, termasuk pemerintah yang berkuasa di Negeri ini untuk lebih “MENGGUNAKAN HATI”, melihat dengan hati bahwa pendidikan yang baik dan berstandar maksimal bisa membawa Negara ini menjadi lebih baik, sembuh dari sakit yang bertahun-tahun di derita Ibu Pertiwi. Melihat dengan hati bahwa semua anak Indonesia dari Sabang hingga Merauke bisa mendapatkan pendidikan dengan layak. Melihat dengan hati bahwa “Sekolah-sekolah mirip kandang kambing” yang bertebaran bak pasir di pantai yang banyak menghiasi sudut-sudut desa di Negeri ini menanti untuk dijamah oleh tangan-tangan kekar mereka. Melihat dengan hati ada juta-an Ibu Muslimah diluar sana yang kapasitasnya tidak lagi membutuhkan “perhatian” tapi “reward” atas jasa dan pengorbanan untuk bisa membuat anak-anak terbuang itu bisa membaca dengan buku lusuh serta lihai berhitung walau hanya menggunakan patahan-patahan sapu lidi.

Membaca buku ini, memaksa otak gue yang hanya sebesar otak ikan lele ini, untuk menyutradarai film ini sendiri, membuat imajinasi serta menghidupkan aura kehidupan yang dialami dan dilalui oleh Laskar Pelangi hampir 34 tahun lalu di Belitong. Dan hari ini, Mira Lesmana juga Riri Reza sudah membantu gue untuk menghadirkan visual itu di depan biji mata gue. Sengaja gue kosongkan kepala gue, gue delet setiap scene film yang sudah gue buat di syaraf-syaraf otak gue, gue berharap apa yang gue baca dibuku bisa gue dapetin di film ini.

Perasaan gue membuncah-buncah bak air bah ketika layar putih segede dan selebar bagong mulai merefleksikan film dari pita-pita film diruang control dibelakang gue. Ketawa ngakak melihat tingkah polah laskar pelangi yang menarik-narik kambing keluar dari kelas mereka ketika hujan mengguyur Belitong, tertawa lebar melihat ikal memakai sepatu pink pergi ke sekolah reoknya untuk kali pertama, tertawa terbahak-bahak melihat usaha pak Arfan menopang sekolah bututnya yang hampir roboh dengan sebatang kayu raksasa. Tapi gue gak hanya menertawakan mereka, gue justru menertawakan wajah pemerintah dan pihak-pihak terkait yang wajahnya memerah bak kepiting rebus saos padang ketika mereka mononton film ini. Mudah-mudahan tertawaan kami yang hadir di premier film ini bisa menggelitik hati semua orang untuk berbuat lebih untuk dunia pendidikan anak-anak Indonesia.

Gue nangis Bombay nonton filmnya, gak peduli omongan orang yang bilang puasa kita bakal makruh kalau nangis. Gue nangis karena gue pengen nangis. Ketika melihat Laskar Pelangi berhitung menggunakan lidi-lidi, Khayalan gue kembali kepuluhan tahun silam. Gue pernah mengalami itu. Menangis karena melihat lintang belajar dengan buku seadanya ditemani cahaya lampu teplok, gue pun pernah mengalaminya, menangis ketika melihat Laskar Pelangi menggunakan baju yang sudah compang camping untuk sekolah, menangis menyaksikan bagaimana Laskar Pelangi dan Ibu Muslimah melepas kepergian si Jenius Lintang untuk tidak sekolah lagi karena harus membiayai hidup adik-adiknya selepas ditinggal mati oleh ayahnya. Dan gue rasa bukan hanya gue yang nangis tapi semua orang yang ada di theater itu termasuk Bapak Din Syamsudin yang juga dateng ke premier film ini.

Syair-syair Nidji menutup pertunjukan ini dengan apik dan sempurna, ketika lampu theater menyala terlihatlah mata-mata sembab dan bengkak itu. Semua terenyuh, semua terharu, dan semua puas dengan hasilnya. Mira lesmana dan Riri Reza tidak hanya berhasil mengembalikan spirit yang ada dibuku Andera Hirata, tapi juga berhasil menghidupkan kembali kehidupan dinasti dan kejayaan Belitong puluhan tahun lalu, dengan berhasil memperlihatkan setting-setting indah setiap sudut pulau Belitong, berhasil membuat gue sebagai penonton berasa berada di Belitong.
Mira Lesmana berdiri di ujung anak-anak tangga, menyalami semua orang yang hadir dipremier itu, memeluk erat dan mesra Andrea Hirata sang empunya buku. Gue melihat sosok itu sosok manusia lowprofile yang bisa menghargai orang-orang yang banyak membantu dirinya, seandainya semua orang Indonesia begitu tingkah polahnya. Pasti Negara ini akan jauh lebih baik.

Gue: “Ini film terindah yang pernah saya tonton”. Kata gue ketika menyalami dengan erat seorang Mira Lesmana, dan kata-kata itu keluar dari lubuk hati gue yang paling dalam untuknya.
Mira: “Alhamdullilah, terima kasih banyak”. Katanya menatap mata gue dalam-dalam.

Dan ketika gue berpapasan dengan Andrea Hirata, gue menyalaminya seraya berkata:
Gue: “Selamat filmnya so Inspiring”.
Andrea: “Saya senang sekali karena Mira dan Riri bisa membuat buku dan filmya seimbang, bisa mempertahankan feel-nya. Dan saya senang sekali karena filmnya menggunakan bahasa dan dialek Belitong”.

Lain lagi ketika gue bertemu dengan Riri Reza sang sutradara.
Gue: “Riri, selamat filmnya bagus banget”.
Riri : “Terima kasih banyak”.
Gue: “Gimana kalau film ini di putar disekolah-sekolah?”. Kata gue memberi saran dari pada pertanyaan.
Riri: “Insya allah.”



Begitulah hari ini, susah melukiskan perasaan gue. Semua campur aduk. Hilang sudah was-was yang menyelimuti hati gue tentang “jangan-jangan filmnya gak akan sebagus bukunya”, lenyap sudah pertanyaan-pertanyaan gue tentang kwalitas filmnya. Memang banyak penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan dalam film ini, tapi semua itu tidak menghapus dan menyamarkan alur cerita, tidak membuat perbedaan yang teramat sangat jauh, pesan yang ada dibuku Hirata tersampaikan dengan jelas di film Riri Reza, dan itu sebanding dengan 25 ribu yang akan nanti orang-orang keluarkan untuk membeli tiket di Bioskop. Memang seharusnya seperti inilah sebuah film dibuat, tidak menomor satukan KOMERSIAL tapi KWALITAS baik, dan tidak membuatnya terlihat sebagai film yang murahan. LASKAR PELANGI, most beautiful film I ever seen.

Gue pun menutup laptop gue dengan senyum yang lebar banget dan panjang sekali