Senin, 28 Februari 2011

Si Dullah Part 1: Jadi Tentara


Alkisah……….

Tersebutlah Dullah, seorang pemuda tanggung yang lahir, hidup dan besar di Pulau Madura bersama ibu semata wayangnya.
Sosoknya hitam legam, sehitam pantat panci e’maknya di dapur, dengan perawakan tinggi semampai (semester tak sampai) plus rambut jabrik macam bulu landak, ditambah percampuran warna rambut yang aduhai sekali, hitam kemerah-merahan dengan sedikit highlight kekuningan. tapi jangan sangka efek kekuninan itu dalah ee’k yang nempel di rambut karena kelamaan berenang di kali, rambut itu bukan hasil rekayasa genetic bahkan bukan hasil nyalon di salonnya Rudi Hadisuwarno ataupun Rudy Choirudin, melainkan karena kebanyakan nonkrong diatas genteng saat matahari tepat diatas ubun-ubun.

Pemuda ini adalah anak seorang janda kaya pembuat garam di Madura. Sehingga tak heran jika dia memiliki hobi yang sedikit nyeleneh yaitu makan garam dicampur beling (gue rasa orang ini titisan si kuda lumping yang tersohor itu)

Dari kabar burung-burung yang bersembunyi dalam celana kolor, Dullah sangat berhasrat ingin menjadi tentara karena kebanyakan nonton pilem Rambo. Maka, ketika suatu hari dia mendengar KODIM membuka pendaftaran untuk calon tentara baru dia punpun segera mendaftarkan diri dengan semangat 45

Diruang Komandan.....


Komandan: "Ente punya nama siapa?"
Dullah: "Ma nama saya Dullah Tayeeeeeee......pemuda ling paling kece di gang sebelah."
Komandan: "Ade perlu ape ente dimari?"
Dullah: "Ya saya mau jadi ra tentara tayeeeeeeee."
Komandan: "Kalau biji tu, kite test dulu ye! ape warna bendera Negara kite?"
Dullah: "Tung Tergantung Dan."
Komandan: "Tergantung ape maksud lu tong?"
Dullah: "Yah Tung Tergantung Tipinya Dan, lau kalau pi tipinya tam hitam putih, ra benderanya warna tam hitam putih ta'yeeeeee...lau kalau pi tipinya berwarna, Ra benderanya Rah merah putih ta'yeeeeeeeeee......"

Komandan mulai sedikit emosi jiwa....

Komandan: "Pertanyaan berikutnya neh tong. Siapa Presiden Indonesie?"
Dullah: "Dang kadang Harmoko, dang kadang try sutrisno, dang kadang Habibie ta'yeeeee..."
Komandan: "Kenape bisa begitu?"
Dullah: "Sering masuk pi tipi ta'yeeeee...."


Darah Komandan sudah nyampe di ubun-ubun....

Komandan: "Tong, neh tes terakhir neh! lu liat tiang bendera di luar sana?"

Serta merta Dullah memalingkan pandangannya ke arah luar jendela, tempat tiang bendera lapuk berdiri dengan jumawanya.

Komandan: "Ente pergi kesane, dan ukur berapa tingginya."

Tanpa menunggu aba-aba lagi Dullah segera berlari sekuat tenaga menuju lapangan, persis kuda liar kebelet ngintip kuda liar sebelah kawin. Dengan tali rapiah yang sudah diikatkan kepinggangnya, Dullah mulai memanjat tiang bendera dengan semangat menyala-nyala bak lampu teplok di rumahnya. Tapi naasnya dia tidak juga kunjung berhasil mencapai puncak tiang bendera itu, setelah diteliti lebih lanjut ternyata tiang bedera itu telah diolesi PELICIN, upss..!!!
Komandan yang sedari dulu memperhatikan kelakuan aneh bin ajaib Dullah, kemudian menyusul pemuda aneh itu ke lapangan.

Komandan: "Eh tonggg, ngapain ente? turun lu"
Dullah: "ya saya gi lagi ngukur ngi tinggi tiang bendera ta'yeeeeee."
Komandan: "Eh tong, yg namanya ngukur tinggi tiang bendera ntuh bukan gitu caranya. neh gw kasih tau, loe copot ni baut. trus enteh rebahkan tiang benderanya, lalu ukur dari kiri ke kanan.
Dullah: "Wah ternyata Dan komandan ini Guoblokkkkkkkk!!!! yg namanya ngukur TINGGI itu dari ATAS ke BAWAH Dan, lau kalau kur ukur dari ri kiri ke nan kanan itu namanya kur ngukur LUAS ta'yeeeeee.


Komandan: "Enyahhhhhhhhhh ente dari hadapan ane, sebelum kepala ane aye jadiin rempeyek.

Kamis, 24 Februari 2011

EmoLog on Tabloid Genie: COLOR BLOCK



Block warna adalah tema yang akan happening di 2011, so buat yg berkulit putih kulit hitam bahkan kulit abu-abu, jangan takut main warna show up your personality, be confident! dan beberapa koleksi terbaru clothing line gw CRAZY NO PLAY : EmoLog hadir di taboid Genie edisi minggu ini, 21 Februari 2011







Jumat, 11 Februari 2011

Lahir dirumah


I En i Ni
Ini
I Be U Bu
Ibu
Bu De I Di
Budi

Ade gw: "Ini Ibu Budi."
Ibu Guru: "Pinter kamu, kecil-kecil sudah bisa lancar baca. TK nya dimana?"
Ade gw: "Dirumah bu guru."
jawabnya dengan muka tak berdosa.
Ibu Guru: ......????
Gw: "Maksudnya dia gak pernah masuk TK bu."
Ibu guru: "Owwww...lantas siapa yg ajarin baca?"
Ade gw: "Dia."
dengan jumawanya dia mengarahkan telunjuknya ke batang hidung gw dengan senyum sumrigah, memperlihatkan giginya yg cokelat kropos habis digerogoti ulat.

Jadi sebelum Kak Seto mempopulerkan istilah "home schooling" yang lagi nge-hitsss belakangan ini, sebenarnya gw sudah lebih dulu melakukannya nyaris sepuluh tahun lalu. Ke empat adik gw, tak satupun yg mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak. selain buang-buang duit, karena hanya diajarkan mengeja, lalu membaca, berhitung kecil-kecilan dan melantunkan syair lagu balonku ada lima yang tak kunjung habis sejak jaman baheula. Kurikulum semacam itu pun bisa gw lakukan dirumah. jadi gw bisa menjadi anak yang berbakti pada orang tua, karena membantu menghemat uang belanja emak bapak gw, hehehehee....

Bu Guru: "Well fai, please fill in your brother Bios."
Gw: "Alrigth."


Tak selang beberapa saat, seorang ibu, meletakkan pantatnya dikursi kayu reot persisi disebelahku, sebelah tangannya menggendong anak perempuan yang masih tampak takut-takut, tangan sebelahnya kemudian menyerahkan selembar formulir pendaftaran tes masuk ke sokalh dasar ini ke ibu guru yang sejak tadi meng-interview adik laki-laki gw.

Ibu Guru: "Ibu ini kenapa tempat tanggal lahirnya di kosongakan? memang anaknya lahir tanggal berapa?
Si ibu yang menggendong anak : "Saya lupa tanggal berapa bu?"
Ibu guru: ...benggong.....
Ibu Guru: "Anaknya lahir dimana bu?"
Si ibu yang menggendong anak: "Lahir DI RUMAH bu."


Bwakakakakakakakakakakakakakakakakkkk

Selasa, 01 Februari 2011

Episode Terakhir


Kamu tahu bulir-bulir air hujan ini pernah sangat menyakitkan buatku. Ketika ditumpahkan satu-satu dari langit dan menghantam pori-pori kulitku, kurasakan serupa sayatan-sayatan sembilu. Perih walau tak berdarah.
Kamu pun tahu aku pernah coba terbang dengan hanya satu sayap. Tertatih-tatih aku mencoba namun tak bisa aku kepakkan walau satu sayapku sudah aku bentangkan.
Tapi kamu mungkin tak tahu bahwa hadirmu disini, dicelah hatiku yang telah terluka mampu membuat satu sayapku yang telah patah tersambung kembali walau sudah tidak utuh, hingga bisa kubentangkan keduanya dan membawamu terbang bersamaku menembus pekatnya hujan.


Mata cokelatnya yang dibingkai bulu-bulu mata lentik nan halus terus berbinar tiada henti. Seolah bisa menggambarkan sebentuk perasaan tersanjung yang membuncah dari celah hatinya, ketika membaca deretan kalimat-kalimat mukadimah indah yang ditulis tangan oleh Fay diawal surat yang baru sekitar 10 menit lalu diterima olehnya dari tukang pos. Di dalam binar mata itu pula tergambar jelas seutas senyum hangat, sehangat cafe lattenya dalam cangkir putih yang masih mengebulkan asap putih tipis dan belum lagi bergeser dari tempatnya, dari atas sebuah meja yang terbuat dari sepotong kayu mahoni terletak persis di sebelah kanannya.

Dari surat, sejenak dia alihkan pandangannya pada segerombolan kecil burung yang terbang memperkosa senja, dengan gumpalan awan tipis berselaput rona orange kemerahan. Di batas kaki langit, pucuk-pucuk daun menari ditiup angin sore, lentur bak seorang balerina dengan alunan Tchaikovsky dalam pertunjukan Swan Lake yang termasyhur. Dia menghela nafasnya pelan, lalu meraih cangkir putihnya dengan hati-hati, membaui cafe lattenya dengan mata terpejam seolah itu adalah wangi terdasyat yang pernah dia temui seumur hidupnya, kemudian meneguknya perlahan dengan penuh cinta.

Kamu tahu? Perasaan sayang ini tak muncul tiba-tiba, tapi serupa benih yang menancapkan akar tunggalnya di dasar hatiku lalu mengakar kuat tanpa bisa aku cegah. Begitu juga dengan rasa cinta ini, rasa cinta ini aku bangun dengan pondasi yang kuat sejak kali pertama aku menerima email perkenalanmu, saat aku menemukan kamu di bawah pohon beringin di depan Benteng Vredeburg bersama sebentuk senyum di wajah kuyuhmu karena lelah menghabiskan delapan (8) jam perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta, saat dipenghujung malam ketika kita duduk dibangku kayu berhadap-hadapan saat kamu temani aku menghabiskan semangkuk bakso tahu di sekitar Malioboro dan kamu katakan tak pernah ada seorangpun yang menyayangi kamu seperti aku. Saat kamu genggam tanganku ketika kita duduk di kursi becak yang tengah dikayuh bapak tua untuk menghantarkan kita menghabiskan malam minggu di alun-alun selatan Jogja, saat kamu tertatih-tatih menjejalkan langkamu setapak demi setapak sembari berbalutkan secarik kain hitam penutup mata mencari celah dua pohon beringin besar di depan Keraton. Saat aku lingkarkan sebuah cincin perak di jari manismu ketika kita menjelajahi kota lama, saat kamu rengkuh aku dalam hangat pelukmu seolah akan berpisah lama ketika gerbong kereta berkarat itu akan membawamu kembali ke Surabaya.

Dia tempelkan telapak tangan kirinya ke dadanya seolah ingin menjinakkan perasaannya yang mengharu biru, ada semacam getaran-getaran halus dari dalam jantungnya yang berkecamuk dan memaksanya kembali ke setiap peristiwa yang baru dia baca dalam sepucuk surat yang ditulis dengan tinta perak diatas kertas berwarna hitam pekat.
.......
Rintik gerimis mengundang kekasih dimalam ini
Kita bernyanyi dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku, saat ini oh sayangku
Jika kau di sini aku tenang
..........

Bait demi bait lagu Denting-nya Melly Goeslow yang mengalun pelan dari earphone di kupingnya semakin mempertajam aroma kesedihan yang tiba-tiba menyeruak sempurna di sudut hatinya. Konsentrasinya buyar seketika, tidak lagi pada surat dalam genggamannya melainkan pada sebaris kalimat yang pernah dia kirim melalui sms pada cowok yang pernah dicintainya selama nyaris 7 bulan.
“Aku merindukan kesendirian, kita selesai sampai disini.”
Sebaris kalimat yang dia kirim tiba-tiba tanpa tendeng aling-aling, singkat namun dia yakini pasti akan menjadi pukulan telak yang menyakitkan untuk fay.
Lembar surat kedua dia tumpukkan di atas lembar pertama, dan kembali menjamahi huruf-huruf yang terangkai menjadi kalimat dengan pandangan kabur karena airmatanya nyaris tumpah.

Kamu tahu? Aku bahkan rela mengkompromikan perasaanku dengan sebuah kenyataan bahwa raga kita terpisah oleh jarak puhan ribu mill Jakarta-Surabaya lalu kemudian menjadi jarak jutaan mill antara Jakarta dan Pontianak. Tapi aku mencoba mengerti bahwa cintalah yang sesungguhnya membuat kita hanya berjarak selapis kulit ari.
Kamu tahu? Dua hari lagi kita nyaris 7 bulan, namun ketika aku terjaga dipagi ini, aku tersadar tak mungkin melangkah lagi bersama kamu karena kamu telah memilih menyelesaikan episode terakhir kita dan memilih untuk terus berjalan sendiri tanpa aku.
Terima kasih untuk pernah bersedia hadir dan menjadi bagian penting dalam hidupku

Fay.


Jebol sudah pertahanannya, tak kuasa pula dia membuat saripatih matanya hanya berdiam di garis tepi mata cokelat berbingkai bulu mata lentiknya, melainkan meleleh membuat jelaga hitam hingga dagunya yang lancip.